Kamis, 28 November 2013

Harapan Baru Dunia Elektromedik Indonesia

VIVAnews - Vonis dokter itu membuat Suwarni pasrah tiga tahun silam. Ia terkena kanker payudara. Beragam upaya telah dicobanya untuk sembuh. Kanker payudaranya juga sudah diangkat.  Tapi sel-sel kanker itu rupanya telah menyebar. Dokter meminta ia menjalani kemoterapi sembilan kali. Itu pun tanpa jaminan sel kanker akan mati.

Duitnya sudah terkuras banyak. Tabungan menipis. Sekali terapi, bisa mengikis Rp30 juta. Lagipula, efeknya bahaya. Rambutnya akan rontok. Kulitnya kusam, tubuhnya kurus, dan muntah-muntah. Suwarni mulai putus harapan. Daripada untuk kemoterapi dengan hasil tak pasti, ia pun memilih berangkat haji.

Untunglah, adik Suwarni, Warsito P. Taruno,  punya solusi. Dia prihatin melihat kondisi kakaknya itu. Warsito saat itu tengah belajar fungsi
gelombang listrik untuk diagnosis dan terapi.  Dia tahu, sebuah sel punya gelombang listrik tertentu. Itu bisa berinteraksi dengan gelombang listrik yang dipaparkan padanya.

Alumnus Teknik Kimia dan Teknik Elektro di Shizouka University Jepang itu juga sudah membuktikan, medan listrik bisa menghambat sel kanker. Gelombang listrik berdaya tinggi, akan menimbulkan reaksi tertentu pada sel kanker. Itu sudah menjadi terapi di luar negeri. Tapi, daya listriknya mencapai 70 volt. Ia lalu putar otak.

“Berarti gelombang listrik berdaya rendah juga bisa menghasilkan efek jika dipaparkan secara terus menerus pada sel-sel kanker yang sedang membelah diri,” pikir Warsito kala itu.

Ia sebenarnya sudah mencoba pikirannya itu. Gelombang listrik dipaparkan pada sel kanker in vitro, sel kanker yang ditumbuhkan di laboratorium. Hasilnya: perkembangan sel kanker tertahan. Rupanya, gelombang listrik mengacaukan pembelahan sel kanker. Mereka bisa kacau, bahkan hancur.

Warsito lalu nekad mengujicobakan alatnya untuk Suwarni. Kondisinya mendesak, kata Warsito. Ia tak tahan melihat kakaknya menderita. “Paling juga nggak ngaruh. Syukur-syukur kalau ngaruh,” ujar pria 46 tahun itu pada VIVAnews. Gelombang listrik disetelnya sangat rendah, sekitar tiga volt.

Warsito pun terkejut. Hasilnya di luar dugaan.  Suwarni membaik setelah alat serupa rompi bergelombang listrik itu dipakai selama sebulan penuh. Ia memeriksakan sel-sel kankernya ke dokter, dan hasilnya normal. Padahal, ia didiagnosis menderita kanker payudara stadium 4.

Awalnya Warsito tak percaya.  Ia menyangka hasil baik itu hanya kebetulan semata. Ia meminta Suwarni kembali memakai rompi ciptaannya. Pemindaian sel kanker kali kedua, dilakukan sebulan kemudian. Ajaib. Sel-sel kanker Suwarni menghilang. “Saya antara percaya dan tidak percaya,” kata Warsito tercengang. 

Hingga kini, Suwarni baik-baik saja. Rompi buatan Sang Adik hanya sesekali ia pakai sebagai tindakan preventif. Yang jelas, sementara orang lain berjuang hidup di tengah efek samping kemoterapi, ia bisa dengan mudah sembuh dari kanker.

Bra Kanker

Temuan Warsito itu lalu makin berkembang. Dari mulut ke mulut, rompi ajaib buatan pria asal Karanganyar, Solo itu mulai tenar. Hingga pertengahan 2011, sudah ada empat orang yang memakainya.

Masing-masing mengeluhkan sakit kanker rahim, kanker serviks, kanker payudara, dan kanker paru-paru. Dengan pemakaian alat secara teratur, benjolan mereka mengempis. Sakit pun hilang. Alat terapi Warsito juga dipakai di sejumlah negara seperti Taiwan, China, Malaysia, India, dan Singapura.

Keampuhan alat buatan Warsito kian melanglang buana. Rompi itu kemudian mendapat sebutan “Bra Kanker”. Sebab, ia digunakan melekat pada tubuh seperti bra. Di dalam ‘bra’ itu, ada elektroda yang didapat dari dua buah baterai kering berukuran kecil.

Warsito juga mulai mengembangkan alat lain. Ia membuat ‘helm’ untuk penderita kanker otak. Sambutan positif mengalir saat Warsito hadir di konferensi sains di San Diego. Orang-orang tak percaya alat secanggih itu berasal dari Indonesia.

Lebih jauh lagi, Warsito juga menciptakan alat untuk terapi kanker paru-paru dan abdomen. “Alat terapi, sudah ada untuk semua jenis kanker. Tapi alat diagnosis baru dua, kanker payudara dan kanker otak,” katanya. Ia bahkan sudah mematenkan alat-alat buatannya.

Agar terjangkau oleh lebih banyak kalangan, Warsito kemudian membuka klinik terapi. Setiap Senin sampai Sabtu, puluhan orang mengantre di Klinik Riset Kanker “Edwar Technology”, Alam Sutera, Tangerang. Klinik itu berupa ruko tiga tingkat. Cukup luas, sekitar 1.500 meter persegi.

Ada sekitar 120 karyawan bekerja di sana. Lantai pertama, untuk pelayanan pasien. Lantai kedua adalah kantor administrasi. Tempat riset kanker berada di lantai tiga. Tiap tengah hari, Warsito bertandang ke klinik itu.

Terkadang ia langsung masuk ke ruangannya di lantai dua. Atau memberi konsultasi pada pasien di lantai satu. Pria yang juga Ketua Umum Masyarakat Ilmu Pengetahuan Teknologi Indonesia itu menuturkan, pasiennya kini mencapai tujuh ribu orang.

Teknik terapi

Para pasien itu, Warsito menjelaskan, mulanya harus melakukan CT Scan di rumah sakit untuk melihat posisi sel kanker dalam tubuhnya. Tujuannya, menentukan dari arah mana elektroda penghasil listrik akan menembak.

“Kalau posisi menembaknya tidak tepat, tidak akan berpengaruh. Tidak akan ada interaksi antara gelombang listrik dari alat dengan gelombang listrik yang ada di sel-sel kanker,” ujar Warsito.

Ia menambahkan, data CT Scan juga diperlukan untuk mendesain alat terapi agar elektrodanya tepat di atas sel kanker. Masing-masing orang mendapat alat terapi yang berbeda. Perancangnya adalah para ahli di bidang Fisika medis, dan mereka yang memahami anatomi tubuh.

Setelah alat terapi dibuat, pasien tinggal memakainya. Frekuensi pemakaian tergantung pada stadium kanker. Semakin tinggi stadiumnya, semakin rendah jam pemakaian. Umumnya, untuk kanker stadium tinggi, butuh dua sampai tiga jam sehari.

Sebaliknya, pasien kanker stadium rendah disarankan untuk memakai alat terapi sekitar delapan sampai 12 jam sehari.

Mengapa begitu? Rupanya, sel-sel kanker yang pecah setelah diterpa gelombang listrik, akan berubah menjadi cairan. Ia dikeluarkan melalui keringat, urin, dan feses. Masalahnya, cairan itu bau dan berlendir. Itu akan membuat seseorang tidak nyaman.

Meski sel-sel kanker bisa pecah dan keluar melalui metabolisme tubuh, masih ada beberapa pasien yang harus dioperasi. Menurut data Warsito, hanya 20 persen pengidap kanker yang sel-selnya bisa hancur tanpa operasi. Sisanya, tetap harus mampir ke meja bedah.

Alat Warsito ini harus digunakan selama enam bulan untuk mengubah kanker ganas menjadi tidak berbahaya. Setelah itu, pasien kembali di-CT Scan. “Meskipun hasilnya tidak ada lagi sel kanker, penggunaan alat ini tetap dilanjutkan sebagai tindakan preventif,” ujar Warsito.

Pasien juga butuh CT Scan rutin. Setidaknya enam bulan sekali. Soalnya, Warsito tak mau ambil risiko. Sel-sel kanker itu mungkin tak hilang sempurna. Ia bisa saja suatu saat muncul kembali.

Menyembuhkan

Karena teknik terapi yang mudah itu, banyak pasien tertarik. Misalnya Diah, 25 tahun, pasien asal Semarang. Desember 2012, ia didiagnosis menderita kanker kelenjar keringat jenis ca adenoid cystic carcinoma di hidungnya. Ia sudah pernah tiga kali operasi, dan enam kali kemoterapi.

Namun, Februari 2013 kankernya tumbuh lagi. “Saya mencari pengobatan alternatif karena kemoterapi sangat menyiksa,” tuturnya. Akhirnya, Juni 2013, ia bertemu Warsito. Atas rekomendasi seorang kawan, Diah mencoba terapi cara Warsito itu. 

Awalnya, ia tak disiplin. Baru sebulan belakangan perempuan itu serius. Ia mengabaikan rasa sakit saat memasang alat itu di bagian hidungnya. “Sepekan pemakaian, sakit di hidung berkurang. Massa kanker juga berkurang. Tapi saya belum sampai keringat berlendir. Hanya feses dan buang air yang berbau,” kisahnya.

Saat berkonsultasi ke dokter, kanker Diah belum berkurang. Ia masih disarankan kemoterapi. Namun, Diah memilih percaya pada Warsito. Jika dalam waktu yang ditentukan belum ada perubahan, baru ia memutuskan kemoterapi lagi.

Sugeng Riyadi, 50 tahun, pasien asal Bekasi, punya kisah serupa dengan Diah. Ia didiagnosis mengidap kanker kelenjar getah bening,  dan tumor di sekitar leher sejak Mei 2013. Saat itu, ia langsung menjalani operasi pengangkatan kanker dan tumor di rumah sakit.

Sayang, umur kesembuhannya hanya sebulan. Juni 2013, benjolan itu muncul kembali di lehernya. Putus asa karena sudah terlanjur keluar uang banyak untuk operasi, ia mencari pengobatan alternatif. Klinik Warsito kemudian ditujunya.

Satu setengah bulan terakhir, ia memakai alat terapi dari Warsito. “Minggu pertama belum perubahan. Badan saya gelisah, mual, tapi leher masih sakit dan bengkak. Pemakaian bulan kedua, baru ada perubahan. Badan sudah nyaman, dan leher tidak sakit lagi,” katanya. Benjolan pun mengecil.

Dokter memang masih mendiagnosis tubuhnya menyimpan sel kanker. Namun, Sugeng ingin menjajal alat terapi Warsito sampai beberapa waktu ke depan. “Saya mau cek lagi bulan depan. Mudah-mudahan ada perubahan,” ujarnya. Dia berharap sembuh.

Menurut Warsito, memang sulit menentukan apakah pasien kanker sudah sembuh total. Namun, jika alat terapinya dipakai secara teratur sesuai aturan penggunaan, kemungkinan besar sel-sel kanker akan berkurang. Ia memang bisa muncul, bahkan jika hasil CT Scan menyebutkannya sudah hilang.

Untuk itu, Warsito menekankan pentingnya tetap memakai alat terapi sebagai tindakan preventif.

Produksi massal

Alat terapi Warsito memang seakan menjawab impian ribuan penderita kanker di dunia. Mereka kini punya harapan untuk sembuh, tanpa harus kemoterapi yang mahal. Hanya perlu membayar Rp5 juta sampai Rp10 juta, mereka berobat hingga sembuh.

Setiap kali datang terapi, mereka hanya membayar Rp100 ribu. Sedangkan untuk mendesain ulang alat terapi yang disesuaikan perkembangan posisi sel kanker dalam tubuh, pasien hanya harus merogoh kocek Rp20 ribu.

Seiring banyaknya pasien yang memburu alat terapi kanker Warsito, makin membludak pula pengusaha yang ingin menggandengnya memproduksi alat itu secara massal. Tak hanya dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Namun, Warsito belum mengiyakan.

“Untuk membuat produksi massal tentu harus mendapatkan izin edar. Saya berusaha untuk mendapatkan itu dulu,” alasannya. Lagipula, ia memang tak mau buru-buru. Sebab, membuat alat terapi itu tidak sembarangan.

Setiap pasien yang datang, dibuatkan alat terapi khusus sesuai kondisi sel-sel kanker di tubuhnya. Sebulan sekali, pasien itu dievaluasi. Jika kondisi sel kanker berubah, dibuatkan alat terapi baru. “Makanya, alat terapi tidak bisa dipakai sembarangan,” ia melanjutkan.

Setiap hari, ia bisa membuat sampai 20 alat terapi. Karena itu, Warsito mementingkan mekanisme kontrol. Protokol pembuatan alat dan pengobatan pasien, harus diverifikasi dengan benar. Jika sudah ada standar untuk mekanisme itu, bukan tak mungkin ia akan terbuka untuk produksi massal.

Jika itu terjadi, Warsito memastikan harga alat terapinya akan lebih murah. “Tapi yang mahal sebenarnya bukan alatnya. Melainkan para ahli anatomi yang merancang bentuk alat itu. Mereka yang menentukan posisi alat-alat terapi,” katanya. Untuk itu, butuh pula sistem komputasi yang tinggi.

Lalu benarkah alat terapi Warsito itu bisa menjadi jawaban praktis mengenyahkan kanker?  Warsito mengakui, tak semua kanker bisa disembuhkan oleh alatnya. “Saya bisa membedakan mana yang bisa disembuhkan, dan tidak,” ujarnya.  

Tapi yang penting, Warsito punya niat mulia: memberi harapan sembuh bagi penderita kanker. Tentu penemuan alat itu menjadi kabar baik. Terutama, bagi para pasien yang tak kuat lagi membayar ongkos kemoterapi. (np)
SEMOGA INI MENJADI HARAPAN BARU BAGI DUNIA ELEKTROMEDIK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar